A.
Latar
Belakang Masalah
Akulturasi
merupakan sebuah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan
suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur unsur dari suatu kebudayaan
asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur unsur kebudayaan asing itu lambat
laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri[1].
Proses akulturasi tersebut memang sudah terjadi sejak dulu. Tidak bisa
dipungkiri bahwa bangsa kita pun
merupakan sebuah kesatuan yang di dalamnya terdapat masyarakat dari berbagai
etnik, bahkan kebudayaan asing pun turut di dalamnya. Hanya bagaimana cara
menyikapi hal tersebut terkait proses akulturasi budaya yang memang tidak bisa
dihindari.
Karena pengaruh lingkungan, modernitas , serta
arus urbanisasi mau tidak mau masyarakat saat ini harus menerima kebudayaan
lain. Akulturasi sangat besar pengaruhnya terhadap paradigma masyarakat. Hal
itu menjadi sebuah polemik bagi masyarakat yang memang masih memegang teguh kebudayaan asli. Rasa takut akan
hilangnya kebudayaan asli setempat seakan memberikan pengertian yang negatif.
Pada dasarnya, akulturasi memang mempunyai dua pengaruh yang besar antara
positif dan negatif, bisa menjadi sebuah faktor yang mengikis (degrading)ataupun mengembangkan (encriching) . Sejak dahulu pun
akulturasi sudah terjadi dalam gejala sosial, karena Akulturasi bersifat dinamis, lambat laun
kebudayaan asing akan berpadu dengan
kebudayaan lokal.
Sementara disisi lain , akulturasi budaya juga
memberikan sebuah pengaruh yang positif terhadap perkembangan kesenian maupun
jenis alat musik yang ada di Indonesia. Seperti yang diungkapkan Judistira (
2008, 115 ), bahwa : penerimaan
pengaruh dari unsur unsur budaya luar tidaklah selalu bermakna menghancurkan tradisi
setempat. Pengaruh berbagai unsur budaya dapat membentuk dan menambah khazanah
institusi sosial yang ada. Menyikapi hal tersebut penulis juga berpendapat
bahwa proses akulturasi dapat
mengembangkan inovasi dan kreasi, serta
dapat Menjadi sebuah indikasi proses perkembangan budaya lokal tanpa
menghilangkan tradisi setempat.
.
Seperti yang telah disinggung pada bait sebelumnya, akulturasi sangat berperan
dalam perkembangan kesenian dan instrument musik yang ada di indonesia. Melihat
latar belakang diatas, penulis akan mencoba mengkerucutkan agar pembahasan
tidak terlalu luas. Dalam kesempatan ini, Penulis mencoba mengambil study kasus “ Perkembangan Karinding di Kota Bandung dalam era Globalisasi dan
masyarakat Heterogen”
B. PEMBAHASAN
Karinding
secara etimologis merupakan sebuah waditra
yang terbuat dari bambu ataupun dari pelepah aren, memiliki lidah penggetar
suara dan mulut digunakan sebagai resonator (ruang suara ). Di Jawa Barat,
karinding terbagi menjadi dua, yaitu karinding lanang(laki laki) yang biasa dimainkan oleh laki laki, dan
karinding wadon (perempuan) dimainkan
oleh perempuan. Karinding lanang memiliki dua lidah penggetar suara, sehingga
suara yang dihasilkan relatif lebih nyaring. Sedangkan pada karinding wadon
hanya memiliki satu lidah penggetar suara. Karinding yang tersebar di wilayah
Bandung adalah karinding wadon , yaitu yang memiliki satu lidah penggetar
suara. Untuk karinding lanang yang memiliki dua lidah tersebar di wilayah
cigaramiang Cianjur (Hendrik,2009)
Karinding
berfungsi sebagai kesenian pribadi atau lebih dikenal dengan kalangenan. Biasanya dilakukan oleh
masyarakat jaman dulu ketika mereka melakukan aktifitas di sawah maupun ladang
. Selain itu, Karinding berfungsi sebagai waditra
pendukung dalam kesenian ritual. Karena pada jaman itu, masyarakat percaya
bahwa dalam memainkan karinding, secara tidak langsung mereka mengingat dan
memegang teguh warisan para leluhur, dan dapat mengantarkan mereka kedalam rasa
yang terdalam, karena Karinding mempunyai suara yang dapat menggetarkan hati
setiap orang yang memainkannya.
Tidak
ada sumber yang jelas mengenai tahun kelahiran dari instrument karinding. Menurut kepercayaan masyarakat Ciramagirang, Karinding mulai ada sekitar
tahun 1908, tepatnya hari Jumat tanggal 07 bulan 07 tahun 1908. Orang yang
pertama kali memainkan karinding ini bernama Kari, yang pekerjaan sehari hari
nya ngangon munding (menggembala
kerbau). Sambil ngangon munding si Kari ini membuat dan memainkan waditra
(karinding) untuk menghibur dirinya, dari asal kata si Kari-ngangon munding, akhirnya menjadi kirata
(Kari-ngangon munding =Karinding), (Hendrik, 2009, 52)
a. Karinding Towe’l sebagai produk
Inovasi
Karinding
towel adalah salah satu produk inovasi dari seorang seniman dan etnomusikolog
yang bernama Asep Nata. Secara subyektifitas, dia meminimalisir kelemahan kelemahan dari karinding
buhun yang menurutnya sangat sulit untuk memainkannya, maka diciptakanlah
Karinding Towe’l. Secara bentuk, karinding Towel sangat sederhana. Dalam bentuk
suara pun, Karinding Towel’l memiliki getaran (sustain) yang pendek. Secara organologis, karinding towe’l lebih
mirip dengan kareng yang berasal dari
suku dayak di nusa tenggara timur.
Karena perkembangan jaman serta tumbuh
pesatnya ilmu pengetahuan, memberikan pengaruh kepada pola pikir dalam sebuah
pengembangan alat musik. Fenomena ini
sangat menarik perhatian penulis, karena sejak kemunculan karinding towel,
memberikan sebuah pengaruh terhadap dunia karinding di jawa barat. Karena pada
dasarnya , karinding towel lebih mengutamakan kepada studi nada. Sedangkan,
sejak dulu masyarakat mengenal karinding itu tidak memiliki tangga nada , umum
nya bersifat sporadis (acak ).
b. Perkembangan Karinding di
Mayarakat Heterogen.
Dalam
perkembangannya, dewasa ini karinding mulai kembali digemari oleh kalangan
remaja yang notabene memiliki latar belakang komunitas musik band. Tentunya ,
hal itu menimbulkan dampak positif dan negatif
. dampak positif dari fenomena di atas adalah mulai bangkitnya budaya lokal yang nyaris dilupakan oleh generasi
muda. Seperti hal nya karinding, walaupun saat ini fungsinya telah berubah,
tapi perlu digaris bawahi, instrument tersebut kini hadir kembali dan
memberikan peran dalam khasanah musik khususnya untuk komunitas band di Kota Bandung.
Karinding attack
merupakan salah satu komunitas musik yang mengutamakan karinding sebagai alat
musik utamanya. Personil nya berlatar belakang kan dari komunitas Underground di Ujung Berung yang bernama
“ujung berung rebels “. Kehadiran
mereka memberikan sebuah motivasi kepada para generasi muda. Karinding sunda
yang sebelumnya kurang diketahui serta diminati oleh masyarakat, kini kembali
mencuat dan memberikan sebuah kontribusi dalam khasanah musik Nusantara. Perkembangan
ini berubah secara signifikan dan merupakan sebuah fenomena yang terjadi
bahwasanya akulturasi memberikan sebuah inovasi.
Hanya saja karena faktor moderenisasi,
karinding dalam hal ini beralih fungsi menyesuaikan untuk kebutuhan
pertunjukan. Kolaborasi dengan band band metal dirasa cukup efektif karena pola
kehidupan masyarakat kota yang cenderung fleksibel, menjadikan sebuah indikasi
karinding dapat cepat diterima.
Kimung
(Jurnal Karat) mengemukakan sebagai berikut :
Puncaknya adalah ketika para
pemusik metal itu bersatu dalam satu grup yang bertujuan menyebarkan karinding
serta nilai-nilai luhur dan kesederhanaan yang terkandung darinya.
Grup ini mereka namakan Karinding Attack, berdiri Februari 2009
di Commonroom. Dengan latar belakang musikalitas, sosial, dan budaya yang jauh
berbeda dengan seniman kasundaan pada umumnya, Karinding Attack dengan garang
menggebrak ranah seni karinding. Lagu-lagunya yang keluar dari pola-pola umum
permainan karinding, cepat, dengan tingkat akurasi yang tinggi menyebabkan grup
ini dengan cepat diterima anak muda. Segera saja virus “Karat”—begitulah mereka
menyingkat nama band mereka—menyebar.
Peran
media masa seperti internet sangat
berpengaruh terhadap proses akulturasi. Bahwannya internet merupakan media
ekspresi bagi semua orang di seluruh dunia. Segala bentuk musik yang populer
dapat kita lihat dari internet. Begitupun dengan karinding, sejak kemunculan
komunitas Karinding Attack dalam
dunia maya maupun konser konser musik lainnya. Antusiasme golongan muda yang
berlatar belakang musik metal turut
serta membawakan karinding dalam setiap mereka performing. Menurut kimung
(personil karinding attack), sejak tahun 2009-sekarang telah tercatat dua ratus
lebih komunitas karinding lahir di kota bandung.
C. Solusi
Dari
dua sampel diatas, kita bias melihat bagaimana pengaruh akulturasi terhadap
perkembangan karinding di kota bandung. Asep Nata dengan karinding inovasinya,
dapat memberikan sebuah terobosan baru dalam system pelarasan karinding. Dengan
latar belakang seorang peneliti music (etnomusikologi), asep nata dapat
memadukan beberapa hasil kebudayaan kedalam bentuk karinding inovasinya,
sehingga dari percampuran tersebut menghasilkan sebuah produk karinding yang
baru.
Sedangkan
untuk sampel kedua, Komunitas Karinding Attack yang berlatarbelakang music
metal, mencoba mengajak generasi muda yang notabene memiliki latar belakang
yang sama, untuk mengenal dan memainkan karinding. Semoga saja fenomena ini
bukan merupakan sebuah krisis identitas bagi kalangan muda. Kita sebagai insane
akademisi seni, seharusnya harus lebih peka terhadap fenomena yang terjadi di
sekitar kita.
Penulis
menyikapi hal ini, fenomena kesenian tradisional kita saat ini seakan “hidup segan , matipun tak mau “,
seperti halnya karinding, Ketika ada orang yang hendak mengembangkannya, selalu
ada saja orang yang tidak berpihak dengan mengatas namakan budaya local
(karuhun). Padahal, melihat kondisi sekarang , jaman telah berubah. Jika kita
tidak mengkuti perkembangan jaman, kita tinggal melihat seni tradisional itu
perlahan hilang karena tidak akan diminati oleh masyarakat yang notebene telah
berubah dalam segi pemikiran.
D. Kesimpulan
Selama
memegang teguh tradisi yang ada, maka tidak perlu ditakutkan lagi akan adanya
pengikisan budaya. Arus moderenisasi dalam masyarakat heterogen bersifat
global. karena bertujuan untuk mensejahterakan manusia melalui ilmu pengetahuan
dan teknologi. Pemilihan budaya yang sesuai dengan kehidupan merupakan langkah
selektif dalam cara pandang terhadap sebuah akulturasi budaya. Akulturasi budaya
akan selalu terjadi hingga beberapa waktu yang akan datang. Maka jangan heran,
karinding pun akan lebih berkembang beberapa waktu yang akan datang. Karena,
setiap saat manusia menerima beberapa pengaruh dalam pikirannya , baik itu dari
media informasi, maupun dari pergaulan antar etnik.
Daftar
pustaka
Garna,
judistira. 2008. Budaya sunda : melintasi
waktu menantang masa depan.Bandung
: penerbit lembaga penelitian unpad .
Dwi
Wahyudiarto. 2005. Kapita Selekta Budaya.
Surakarta. STSI Press Surakarta.
Cace
Hendrik. 2009. Penelitian Karinding di
Cigaramiang Cianjur Selatan.
Kimung,
2010. Karinding Menghajar Jalanan, Ujung
Berung Rebels (online ), (http://jurnalkarat.wordpress.com/2010/07/04/karinding-menghajar-jalanan/ diakses 11
November 2013)
[1]
Dwi Wahyudiarto dalam bukunya yang berjudul “Kapita selekta Budaya” hal 37.
Diterbitkan oleh STSI Press Surakarta. Tahun 2005.