Senin, 09 Desember 2013

Posisi Akulturasi Budaya dalam masyarakat yang heterogen - antara enriching dan degreding

A.     Latar Belakang Masalah

Akulturasi merupakan sebuah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri[1]. Proses akulturasi tersebut memang sudah terjadi sejak dulu. Tidak bisa dipungkiri bahwa bangsa  kita pun merupakan sebuah kesatuan yang di dalamnya terdapat masyarakat dari berbagai etnik, bahkan kebudayaan asing pun turut di dalamnya. Hanya bagaimana cara menyikapi hal tersebut terkait proses akulturasi budaya yang memang tidak bisa dihindari.
 Karena pengaruh lingkungan, modernitas , serta arus urbanisasi mau tidak mau masyarakat saat ini harus menerima kebudayaan lain. Akulturasi sangat besar pengaruhnya terhadap paradigma masyarakat. Hal itu menjadi sebuah polemik bagi masyarakat yang memang masih memegang  teguh kebudayaan asli. Rasa takut akan hilangnya kebudayaan asli setempat seakan memberikan pengertian yang negatif. Pada dasarnya, akulturasi memang mempunyai dua pengaruh yang besar antara positif dan negatif, bisa menjadi sebuah faktor yang mengikis (degrading)ataupun mengembangkan (encriching) . Sejak dahulu pun akulturasi sudah terjadi dalam gejala sosial, karena  Akulturasi bersifat dinamis, lambat laun kebudayaan  asing akan berpadu dengan kebudayaan lokal.
 Sementara disisi lain , akulturasi budaya juga memberikan sebuah pengaruh yang positif terhadap perkembangan kesenian maupun jenis alat musik yang ada di Indonesia. Seperti yang diungkapkan Judistira ( 2008, 115 ), bahwa : penerimaan pengaruh dari unsur unsur budaya luar tidaklah selalu bermakna menghancurkan tradisi setempat. Pengaruh berbagai unsur budaya dapat membentuk dan menambah khazanah institusi sosial yang ada. Menyikapi hal tersebut penulis juga berpendapat bahwa  proses akulturasi dapat mengembangkan inovasi dan  kreasi, serta dapat Menjadi sebuah indikasi proses perkembangan budaya lokal tanpa menghilangkan tradisi setempat.
. Seperti yang telah disinggung pada bait sebelumnya, akulturasi sangat berperan dalam perkembangan kesenian dan instrument musik yang ada di indonesia. Melihat latar belakang diatas, penulis akan mencoba mengkerucutkan agar pembahasan tidak terlalu luas. Dalam kesempatan ini, Penulis mencoba  mengambil study kasus “ Perkembangan Karinding di Kota Bandung dalam era Globalisasi dan masyarakat Heterogen

B.     PEMBAHASAN

Karinding secara etimologis merupakan sebuah waditra yang terbuat dari bambu ataupun dari pelepah aren, memiliki lidah penggetar suara dan mulut digunakan sebagai resonator (ruang suara ). Di Jawa Barat, karinding terbagi menjadi dua, yaitu karinding lanang(laki laki) yang biasa dimainkan oleh laki laki, dan karinding wadon (perempuan) dimainkan oleh perempuan. Karinding lanang memiliki dua lidah penggetar suara, sehingga suara yang dihasilkan relatif lebih nyaring. Sedangkan pada karinding wadon hanya memiliki satu lidah penggetar suara. Karinding yang tersebar di wilayah Bandung adalah karinding wadon , yaitu yang memiliki satu lidah penggetar suara. Untuk karinding lanang yang memiliki dua lidah tersebar di wilayah cigaramiang Cianjur (Hendrik,2009)

Karinding berfungsi sebagai kesenian pribadi atau lebih dikenal dengan kalangenan. Biasanya dilakukan oleh masyarakat jaman dulu ketika mereka melakukan aktifitas di sawah maupun ladang . Selain itu, Karinding berfungsi sebagai waditra pendukung dalam kesenian ritual. Karena pada jaman itu, masyarakat percaya bahwa dalam memainkan karinding, secara tidak langsung mereka mengingat dan memegang teguh warisan para leluhur, dan dapat mengantarkan mereka kedalam rasa yang terdalam, karena Karinding mempunyai suara yang dapat menggetarkan hati setiap orang yang memainkannya.
Tidak ada sumber yang jelas mengenai tahun kelahiran dari instrument karinding.  Menurut kepercayaan masyarakat Ciramagirang, Karinding mulai ada sekitar tahun 1908, tepatnya hari Jumat tanggal 07 bulan 07 tahun 1908. Orang yang pertama kali memainkan karinding ini bernama Kari, yang pekerjaan sehari hari nya ngangon munding (menggembala kerbau). Sambil ngangon munding si Kari ini membuat dan memainkan waditra (karinding) untuk menghibur dirinya, dari asal kata si Kari-ngangon munding, akhirnya menjadi kirata (Kari-ngangon munding =Karinding), (Hendrik, 2009, 52)
a.      Karinding Towe’l sebagai produk Inovasi
Karinding towel adalah salah satu produk inovasi dari seorang seniman dan etnomusikolog yang bernama Asep Nata. Secara subyektifitas, dia meminimalisir kelemahan kelemahan dari karinding buhun yang menurutnya sangat sulit untuk memainkannya, maka diciptakanlah Karinding Towe’l. Secara bentuk, karinding Towel sangat sederhana. Dalam bentuk suara pun, Karinding Towel’l memiliki getaran (sustain) yang pendek.  Secara organologis, karinding towe’l lebih mirip dengan kareng yang berasal dari suku dayak di nusa tenggara timur.
 Karena perkembangan jaman serta tumbuh pesatnya ilmu pengetahuan, memberikan pengaruh kepada pola pikir dalam sebuah pengembangan alat musik. Fenomena  ini sangat menarik perhatian penulis, karena sejak kemunculan karinding towel, memberikan sebuah pengaruh terhadap dunia karinding di jawa barat. Karena pada dasarnya , karinding towel lebih mengutamakan kepada studi nada. Sedangkan, sejak dulu masyarakat mengenal karinding itu tidak memiliki tangga nada , umum nya bersifat sporadis (acak ).

b.     Perkembangan Karinding di Mayarakat Heterogen.
Dalam perkembangannya, dewasa ini karinding mulai kembali digemari oleh kalangan remaja yang notabene memiliki latar belakang komunitas musik band. Tentunya , hal itu menimbulkan dampak positif dan negatif  . dampak positif dari fenomena di atas adalah mulai bangkitnya budaya  lokal yang nyaris dilupakan oleh generasi muda. Seperti hal nya karinding, walaupun saat ini fungsinya telah berubah, tapi perlu digaris bawahi, instrument tersebut kini hadir kembali dan memberikan peran dalam khasanah musik khususnya untuk komunitas band di Kota Bandung.
Karinding attack merupakan salah satu komunitas musik yang mengutamakan karinding sebagai alat musik utamanya. Personil nya berlatar belakang kan dari komunitas Underground di Ujung Berung yang bernama “ujung berung rebels “. Kehadiran mereka memberikan sebuah motivasi kepada para generasi muda. Karinding sunda yang sebelumnya kurang diketahui serta diminati oleh masyarakat, kini kembali mencuat dan memberikan sebuah kontribusi dalam khasanah musik Nusantara. Perkembangan ini berubah secara signifikan dan merupakan sebuah fenomena yang terjadi bahwasanya akulturasi memberikan sebuah inovasi.

 Hanya saja karena faktor moderenisasi, karinding dalam hal ini beralih fungsi menyesuaikan untuk kebutuhan pertunjukan. Kolaborasi dengan band band metal dirasa cukup efektif karena pola kehidupan masyarakat kota yang cenderung fleksibel, menjadikan sebuah indikasi karinding dapat cepat diterima.
Kimung (Jurnal Karat) mengemukakan sebagai berikut :
 Puncaknya adalah ketika para pemusik metal itu bersatu dalam satu grup yang bertujuan menyebarkan karinding serta nilai-nilai luhur dan kesederhanaan yang terkandung darinya.
Grup ini mereka namakan Karinding Attack, berdiri Februari 2009 di Commonroom. Dengan latar belakang musikalitas, sosial, dan budaya yang jauh berbeda dengan seniman kasundaan pada umumnya, Karinding Attack dengan garang menggebrak ranah seni karinding. Lagu-lagunya yang keluar dari pola-pola umum permainan karinding, cepat, dengan tingkat akurasi yang tinggi menyebabkan grup ini dengan cepat diterima anak muda. Segera saja virus “Karat”—begitulah mereka menyingkat nama band mereka—menyebar.

Peran media masa seperti internet sangat berpengaruh terhadap proses akulturasi. Bahwannya internet merupakan media ekspresi bagi semua orang di seluruh dunia. Segala bentuk musik yang populer dapat kita lihat dari internet. Begitupun dengan karinding, sejak kemunculan komunitas Karinding Attack dalam dunia maya maupun konser konser musik lainnya. Antusiasme golongan muda yang berlatar belakang musik metal turut serta membawakan karinding dalam setiap mereka performing. Menurut kimung (personil karinding attack), sejak tahun 2009-sekarang telah tercatat dua ratus lebih komunitas karinding lahir di kota bandung.






C.    Solusi

Dari dua sampel diatas, kita bias melihat bagaimana pengaruh akulturasi terhadap perkembangan karinding di kota bandung. Asep Nata dengan karinding inovasinya, dapat memberikan sebuah terobosan baru dalam system pelarasan karinding. Dengan latar belakang seorang peneliti music (etnomusikologi), asep nata dapat memadukan beberapa hasil kebudayaan kedalam bentuk karinding inovasinya, sehingga dari percampuran tersebut menghasilkan sebuah produk karinding yang baru.
Sedangkan untuk sampel kedua, Komunitas Karinding Attack yang berlatarbelakang music metal, mencoba mengajak generasi muda yang notabene memiliki latar belakang yang sama, untuk mengenal dan memainkan karinding. Semoga saja fenomena ini bukan merupakan sebuah krisis identitas bagi kalangan muda. Kita sebagai insane akademisi seni, seharusnya harus lebih peka terhadap fenomena yang terjadi di sekitar kita.
Penulis menyikapi hal ini, fenomena kesenian tradisional kita saat ini seakan “hidup segan , matipun tak mau “, seperti halnya karinding, Ketika ada orang yang hendak mengembangkannya, selalu ada saja orang yang tidak berpihak dengan mengatas namakan budaya local (karuhun). Padahal, melihat kondisi sekarang , jaman telah berubah. Jika kita tidak mengkuti perkembangan jaman, kita tinggal melihat seni tradisional itu perlahan hilang karena tidak akan diminati oleh masyarakat yang notebene telah berubah dalam segi pemikiran.




D.    Kesimpulan

Selama memegang teguh tradisi yang ada, maka tidak perlu ditakutkan lagi akan adanya pengikisan budaya. Arus moderenisasi dalam masyarakat heterogen bersifat global. karena bertujuan untuk mensejahterakan manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemilihan budaya yang sesuai dengan kehidupan merupakan langkah selektif dalam cara pandang terhadap sebuah akulturasi budaya. Akulturasi budaya akan selalu terjadi hingga beberapa waktu yang akan datang. Maka jangan heran, karinding pun akan lebih berkembang beberapa waktu yang akan datang. Karena, setiap saat manusia menerima beberapa pengaruh dalam pikirannya , baik itu dari media informasi, maupun dari pergaulan antar etnik.














Daftar pustaka

Garna, judistira. 2008. Budaya sunda : melintasi waktu menantang masa depan.Bandung : penerbit lembaga penelitian unpad .
Dwi Wahyudiarto. 2005. Kapita Selekta Budaya. Surakarta. STSI Press Surakarta.
Cace Hendrik. 2009. Penelitian Karinding di Cigaramiang Cianjur Selatan.
Kimung, 2010. Karinding Menghajar Jalanan, Ujung Berung Rebels (online ), (http://jurnalkarat.wordpress.com/2010/07/04/karinding-menghajar-jalanan/ diakses 11 November 2013)





[1] Dwi Wahyudiarto dalam bukunya yang berjudul “Kapita selekta Budaya” hal 37. Diterbitkan oleh STSI Press Surakarta. Tahun 2005.